Rabu, 24 Agustus 2011

Docmart - Long March Dr Klaus Marten






Dr Klaus Marten adalah seorang dokter tentara Jerman di era perang dunia II. Pada tahun 1945, ia mengalami cedera kaki. Ia kemudian memodifikasi sepatu boot-nya dengan lapisan kulit dan bantalan udara yg empuk. Setelah perang berakhir, dengan bekal pengalaman ini, sang dokter mencoba menjual ide inovasinya. Ia mulai menjalankan sebuah perusahaan sepatu rumahan skala kecil di Jerman dengan bantuan seorang teman lamanya sewaktu kuliah.

DocMart Invasion: Dari London, menyeberang Eropa dan menduduki Dunia
Pada tahun 1960, sebuah perusahaan bernama Griggs Group membeli lisensi sepatu untuk dipasarkan di Inggris /UK. Perusahaan ini melakukan sedikit perbaikan dalam desainnya, membuat ciri khas berupa jahitan sol sepatu dengan benang warna kuning, dan melabeli sol dengan nama trade mark ‘Airwair’, lalu mulai memproduksi sepatu boot ini. Disinilah titik penting dalam sejarah sepatu sang dokter: Boot klasik Docmart-1490 untuk pertama kalinya menginjak pasar London.

Boot warna merah cherry yg desainnya nyaman dan praktis ini tenyata disukai oleh kalangan working class atau kelas pekerja. Banyak sekali buruh pabrik, tukang pos, bahkan petugas polisi memakainya saat bertugas. Image sebagai sepatu milik common-people pun terbentuk secara alami.

Dan sepertinya, image itulah yg kemudian merebut perhatian anak muda dari kalangan sub-kultur punk. Pada akhir tahun 60-an, sepatu sang dokter ini banyak digunakan oleh komunitas skinhead Inggris dan genk-genk di jalanan.... Mereka punya kebiasan aneh, yaitu menyemir boot merah Docmart dengan semir warna hitam sampai warnanya jadi merah gelap dan mengkilap seperti kelereng/ gundu.

Lalu pada tahun 70-an sepatu ini makin populer karena banyak artis Punk Rock, Ska, Psychobillies, Goths, Industrialis, hardcore, straight-edge, Glam, bahkan New Wave yg memakainya. Dengan bantuan musisi-musisi itu, long-march yg dilakukan Docmart dari kota London menyebar ke seluruh dataran Inggris dan Eropa, lalu ke menginvasi dunia.

Puncaknya di tahun 1990-an, sepatu Docmart berkembang menjadi trend yg menjangkiti semua orang, bukan hanya sub-kultur Punk saja. Ia menjadi industri besar. Alhasil, sebagian komunitas Skinhead sejati yg identik dengan spirit anti kemapanan dan anti kapitalisme mulai mempertanyakan brand sang dokter. Sebagian dari mereka mulai beralih ke merk pesaing Docmart, seperti Grinder, Ranger, Gripfast, dsb.

Tapi boot sang dokter terlanjur mencetak jejak solnya di wajah sejarah dunia. Docmart adalah sepatu yg menjadi legenda di dunia fashion anak muda.Ibaratnya ia seperti anthem yg pernah dinyanyikan oleh anak muda di seluruh dunia.. jauh sebelum era MTV yang kian usang, I-Tunes, Facebook,Youtube dan Myspace.

Selasa, 23 Agustus 2011

Biang Keladi Kerusuhan dan Kehancuran Batavia


Gambar pada kartupos ini memperlihatkan panorama di kawasan Kebon Jati, Tanah Abang pada awal abad 1900-an. Kawasan Tanah Abang pada awal tahun 1700-an merupakan pusat industri gula Batavia. Namun tahun 1730-an industri gula di Batavia mengalami masa suram karena harga gula di pasar internasional merosot. Nama Tanah Abang merujuk ke warna tanah di kawasan itu yang merah. Tanah merah dalam bahasa Jawa disebut abang. Maka, kawasan itu disebut Tanah Abang.
Sabtu, 25 April 2009 | 11:01 WIB
KOMPAS.com — Di Batavia periode 1680 sampai 1720 sebuah lahan luas dibuka di Ommelanden (kawasan di sekitar Batavia). Di sinilah terlihat bagaimana kuli-kuli Tionghoa sangat membantu perkembangan perkebunan di Ommelanden. Hutan-hutan dibabat, lahan untuk ladang menanam padi disediakan, lahan untuk menunjang budi daya gula disiapkan. Dari sinilah pula kisah kerusakan lingkungan alam Batavia dimulai.

Warga Tionghoa, para kapitan, bersama pengusaha dan kuli merupakan inisiator utama yang menentukan perkembangan industri gula di Ommelanden itu. Pelopornya adalah Jan Con yang bisa memproduksi gula dalam jumlah besar. Meski akhirnya produksi gula Jan Con merosot akibat faktor alam atau pencurian.

Jan Con, begitu tertulis dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10, tidak sendiri. Kapitan China Poa Beng Gan/Phoa Bingham/Phoa Beng Gam juga memiliki perkebunan tebu yang luas di Tanahabang. Penggalian Binghamgracht atau kanal Molenvliet bertujuan, salah satunya, untuk menghubungkan kebun tebu di Tanahabang dengan Batavia.

Lim Keenqua, Kapitan Que Boqua, dan Kapitan Nie Hoe Kong adalah sederet warga Tionghoa lain yang punya pabrik gula. Nie Hoe Kong bahkan mewarisi 14 penggilingan gula milik ayahnya.

Tahun 1730-an, industri gula di Batavia mengalami masa suram karena harga gula di pasar internasional merosot. Buntutnya, pabrik gula di Ommelanden banyak yang tutup, ribuan buruh Tionghoa di-PHK. Timbul masalah sosial hingga terjadi pemberontakan sosial pada 1740 yang berakhir dengan pembunuhan massal warga Tionghoa oleh Belanda.

Kisah di Batavia itu berawal di tahun 1720-an ketika untung yang dipetik dari gula di daerah Ommelanden mulai melorot. Tanah perkebunan ini akhirnya kelelahan, di mana kayu bakar untuk tungku gula semakin berkurang. Intinya, budi daya ini ternyata berakhir dengan perusakan lingkungan di Ommelanden, membinasakan hutan, mencemari air, dan tanah daerah tropis karena pengelolaan yang sembarangan.
    
Leonard Blusse dalam Sejarah Bencana Ekologi: Kompeni Hindia Belanda dan Batavia (1619-1799) menyebutkan, daerah penghasil kayu kehilangan sebagain luas hutan untuk melindungi pabrik-pabrik gula yang memerlukan kayu bakar. Selain itu, pabrik-pabrik gula ini dibangun di dekat sungai sehingga mencemari air bersih yang mengalir ke Batavia.

Keresahan sosial dan kehancuran usaha pabrik gula di Batavia tahun 1740 itu sudah dimulai 1701 saat peneliti melakukan penelitian ke hulu sungai-sungai di Ommelanden karena terjadi pencemaran air ke seluruh kota dua tahun setelah Gunung Salak meletus. Mereka melihat bahwa hutan dari hulu Sungai Ciliwung sampai hilir di perkebunan tebu milik Cornelis Chastelein telah ludes ditebang.
 
Volume air Sungai Ciliwung yang mengalir ke Batavia juga menurun akibat banyaknya aliran air yang dibelokkan untuk irigasi. Kerusakan alam inilah yang mengakibatkan kondisi Batavia menjadi tidak sehat, kotor, dan jadi sarang penyakit. Di tahun 1808, Daendels pun akhirnya memindahkan pusat kota Batavia ke Weltevreden.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Bandit Terorganisasi di Banten sejak Abad Ke-19


Peta Tangerang
Jumat, 21 Mei 2010 | 01:22 WIB
KOMPAS.com — Bicara soal kehidupan pedesaan di Banten pada abad ke-19 tak akan jauh dari perbanditan. Layaknya Robin Hood, bandit pada masa itu didukung dan dibantu oleh berbagai lapisan masyarakat yang mendukungnya. Pasalnya, bandit pada kala itu biasanya adalah sebutan orang yang merampok orang-orang kaya untuk kemudian dibagikan kepada rakyat jelata.
Di antara bandit yang terkenal adalah Mas Jakaria yang karier hidupnya dalam perbanditan berlangsung pada 1811-1827. Jakaria mengaku sebagai orang suci. Sebagai bandit, itu adalah turunan dari bapaknya yang juga seorang bandit yang oleh pemerintah kolonial dijuluki pemberontak.
Di sini terlihat bagaimana budaya mistik, berupa kekebalan, kekuatan supranatural yang melekat pada bandit, masih begitu dibanggakan. Dan, kekuatan itu tak lain demi membela rakyat. Demikian ditulis Suhartono W Pranoto dalam Bandit-bandit Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942.
Pranoto menjelaskan, bagaimana pemerintah kolonial menjuluki Jakaria sebagai pemberontak yang rohnya pun dapat membantu perlawanan Jakaria sebagai bandit sosial, yaitu dalam Peristiwa Cikandi pada 1845.
Pertengahan abad ke-19, suasana pedesaan Banten sangat tidak aman. Pegawai setingkat wedana kesulitan memberantas perbanditan. Masyarakat lokal tak ada yang mau buka mulut melaporkan perampokan yang terjadi meski perampokan merajalela. Para pemimpin pemerintahan tentu saja meminta anak buahnya untuk memberantas, tetapi para pamong praja atau wedana kesulitan mendapat informasi. Dari sinilah muncul upaya sogok menyogok alias jilat menjilat dari para pamong praja terhadap atasan agar posisinya aman.  
Mereka sibuk mencari alibi, mengumumkan pemberian hadiah bagi siapa saja yang berhasil menyerahkan bandit, sebuah upaya melepas tanggung jawab.
Bandit lain adalah Sahab, Conat, Ija, Sakam, dan Kamudin meski mereka tak semuanya bandit sosial. Sahab beroperasi di Banten selatan dan berpengalaman masuk keluar penjara. Bahkan kemudian ia diangkat menjadi Patih Lebak supaya bisa melindungi sekaligus menjadi bayangan dari pemerintah yang sedang berkuasa. Dan dari semua itu yang berbicara paling kuat adalah uang.
Bandit lain, Ija dan Sakam, merajalela tanpa ada yang mampu menghentikan. Bahkan sampai jatuh korban dari pihak Belanda. Alhasil, setelah semua putus asa, dicarilah "pengganti" Sakam bernama Suhari untuk menggantikan Sakam. Pada 1886, Suhari dipenjara menggantikan Sakam. Dikatakan bahwa Sakam-lah yang sudah tertangkap. Padahal, Sakam masih bebas berkeliaran.
Sekadar informasi, Multatuli dalam buku Max Havelaar, sejak awal abad ke-19 di Banten yang namanya bandit sudah terorganisasi. Mereka beroperasi di Banten, Tangerang, Jatinegara, Karawang, dan Bogor.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Dari Vrijman Menjadi Preman


Geng pemuda bertato atau bergaya punk pun kini disebut preman. Intinya, mereka yang suka bikin ulah, tak hanya sekadar mengganggu tapi juga memalak atau meminta uang, akan disebut preman.
Kamis, 1 Juli 2010 | 03:56 WIB
KOMPAS.com — Vrijman atau orang bebas masih saja jadi buah bibir hingga abad ke-21 ini. Tentu saja, banyak yang akan mengernyitkan kening mendengar kata itu. Vrijman kurang beken dibanding kata preman, bahasa Indonesia dari vrijman. Meski, memang, arti kata itu sendiri mengalami perubahan makna sejak masa VOC hingga zaman kiwari atawa modern ini. Vrijman pada awal abad ke-17 bermakna orang yang bukan pejabat VOC, tetapi melakukan negosiasi atas nama si pejabat.

Intinya, kata preman punya arti orang merdeka, bebas, dan sangat terkait dengan prajurit dan polisi yang tidak memakai seragam, demikian ditulis Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta.


Istilah preman dengan konotasi kriminal baru muncul pada akhir tahun 1970, yaitu dalam serial Ali Topan, Detektip Partikelir. Tadie, berdasarkan beberapa literatur dan ulasan media pada akhir 1970 dan awal 1980, menuliskan, organisasi Preman Sadar—organisasi keamanan—dibentuk dengan hanya merekrut preman dan mantan narapidana.

Media pun makin bikin beken kata preman dan jadi hal yang biasa disebut dengan arti yang jauh dari arti sebenarnya. Karena preman kemudian bermakna penjahat, bandit, tukang palak, jambret, berandalan, gali, bahkan sampai ke pengamen jalanan yang lagaknya memeras penumpang di bus pun sering kali ditunjuk sebagai preman.

Pokoknya orang jahat; orang yang meminta uang tanpa kerja; orang yang menawarkan keamanan meski hanya ongkang-ongkang kaki, yang penting uang masuk kantong; orang yang meneror pihak lain. Preman tak lagi berarti prajurit dan polisi yang berpakaian sipil. Padahal, kenapa tidak kita sebut saja mereka bandit, tukang palak, berandalan.

Lebih pantas karena intinya melawan hukum demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sementara preman atau vrijman memang bukan kata yang merujuk pada kejahatan.

Menarik jika melihat jauh ke belakang, persoalan jagoan, jawara, bandit sudah ada sejak abad silam. Beberapa waktu lalu Warta Kota membahas tentang jagoan atau bandit pada masa kolonial. Jagoan jika dilihat dari warga setempat, bandit di mata pemerintah kolonial, contohnya si Pitung.


Meski dalam penelitian Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till berjudul Colonial Criminals in Java 1870-1910 yang terangkum dalam buku tulisan Vicente L Rafael dan Rudolf Mrazek, yaitu Figures of Criminality in Indonesia, Philippines, and Colonial Vietnam, mereka menyatakan perlakuan para bandit atau jawara yang sering kali disamakan dengan Robin Hood dinilai kurang tepat pada beberapa bandit/jawara itu.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad pada abad ke-19 menurunkan tulisan berseri berjudul Onze Mafia (Our Mafia). Koran ini fokus pada kisah Si Gantang, penjahat yang dijatuhi hukuman mati tetapi berhasil lolos setelah enam tahun dipenjara.

Si Gantang berhasil memperolok polisi kolonial sehingga sulit ditangkap. Ia bahkan membangun kekuatan sendiri, mengutip pajak dan menuntut jasa penduduk lokal. Intinya, gerombolan Si Gantang ini berlagak seperti penguasa dengan janji, penduduk akan aman dari ancaman pencuri. Padahal, mereka sendirilah bandit yang mengambil hak milik para petani dan merampok rumah warga Tionghoa dan Eropa.

Kasus seperti Si Gantang, dengan tegas ditulis Nordholt dan Van Till sebagai tak ada kesamaan dengan Robin Hood.

Dari penggambaran itu, kisah Si Gantang sangat relevan dengan kisah "preman" atau saya lebih suka menyebut bandit di abad ke-21. Atas nama hukum, keamanan, dan ketertiban, mereka berlaku semaunya. Intinya, hanya memalak, meminta uang tanpa susah payah kerja. Modalnya, menekan, menakut-nakuti, dan meneror.

Sebuah tindakan pengecut, sejatinya. Alhasil kawasan yang menurut sesumbar mereka dijaga dan diawasi oleh mereka malah makin semrawut. Banyak pihak ogah berurusan dengan kawasan-kawasan tersebut. Di Jakarta ini ada banyak titik yang dikuasai para bandit. Namun, sepertinya aparat sulit menumpas.

Perihal sulit menumpas, ada sejarahnya pula, yang bisa jadi benang merah. Si bandit berkolaborasi dengan aparat. Si Gantang dan gengnya punya hubungan spesial dengan penguasa pribumi seperti Demang Bekasi yang ia suap dalam rangka melepaskan rekan sesama pencuri.

Menurut penelitian itu, disebutkan pula, Si Gantang punya kaki tangan orang Eropa yang menyediakan informasi dan senjata. Tentu karena suap besar yang mereka bayarkan. Kuasa uang, luar biasa, bukan?
 
 
 

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Senin, 22 Agustus 2011

Metallica Live in Jakarta - The Story



NOWHERE ELSE TO ROAM

Lima belas tahun lalu, James Hetfield dkk sempat konser di stadion Lebak Bulus Jakarta selama dua hari, 10 - 11 April 1993, dalam rangkaian tour Metallica ; Nowhere Else To Roam. Supergroup ini datang di waktu yang tepat. Sebab Metallica lagi jaya-jayanya paska 'album hitam' itu. Masyarakat musik Indonesia juga lagi panas-panasnya mengapresiasi rock/metal.

Pertunjukan itu akhirnya benar-benar menjadi sejarah, dalam kontotasi yang positif maupun negatif. Puluhan ribu crowd bersenang-senang di dalam arena. Sementara di luar stadion timbul kerusuhan dan amuk massa. Sejak itu pemerintah mulai trauma pada band rock dan melarang segala jenis pertunjukan musik keras. Sebuah pengalaman terbaik dan terburuk bagi dunia showbiz tanah air...

Cikibawawaw ; Total War Zone

Metallica, di Stadion Lebak Bulus, hari pertama tanggal 10 April 1993 [kok ingat?! soalnya masih nyimpen tiketnya, hehe]. Berbekal pengalaman konser pertama, saya sebenarnya sudah mengira soal kemungkinan rusuhnya konser ini. Walaupun konser pemanasan sebelumnya, Sepultura, nggak terlalu rusuh menurut berita-berita yang saya baca atau dengar. Tapi gila aja Metallica, dewanya speed/thrash metal, masak nggak nonton? Setelah nabung uang jajan selama beberapa minggu hasil puasa beli kaset di Duta Suara - dulu setiap Rabu pasti saya beli kaset ke Duta Suara, hasil nggak jajan seminggu di sekolah - akhirnya bisa beli juga tiketnya. Kelas satu, karena VIP kemahalan dan festival nggak kepikiran, hehe. Rp.75.000, mahal untuk ukuran tahun segituan, plus bonus kaset Dialog-nya Setiawan Djody [yang langsung saya tiban untuk ngerekam lagu-lagu dari Prambors].

Di-drop di Lebak Bulus, oleh bapaknya Tjun-Tjun, kakak kelas saya dulu di SMA, dan mulailah berjalan kaki dari perempatan Lebak Bulus menuju stadion yang masih rada baru itu. Ternyata baru saja ngantri masuk stadion, ketika sedang berusaha melewati pos terakhir dari berlapis-lapis pos pemeriksaan polisi dan keamanan, tiba-tiba di belakang saya dekat warung depan stadion, para fans yang nggak punya uang itu mulai rusuh. Memaksa masuk, mulai melepar-lempar batu yang dibalas oleh orang-orang yang sedang mengantre jauh di belakang saya. Jadi mulailah kita bergegas masuk. Di dalam beberapa menit Rotor, band pembuka, tiba-tiba di giant screen terlihat api mulai menjalar dari luar sana. Melahap warung tadi beserta tiang listrik dan telepon di dekatnya. Belum lagi gedoran-gedoran dari luar untuk memaksa masuk...

Di dalam?! Siapa bilang nggak rusuh. Kalau festival yah sudahlah, nggak mungkin nggak rusuh, tapi kelas satu?!... Jangan salah, sama saja. Botol-botol beterbangan. Saya yang ber-headbang ria saja sempat tertimpuk botol air mineral. Tapi ini juga konser terlucu yang pernah saya lihat. Karena kelas satu letaknya duduk di tribun jadi kita bisa lihat bagaimana penonton tanpa karcis berebutan masuk ketika pintu stadion dibuka. Seperti semut berlari mengejar gula. Dan lucunya, seperti layaknya konser-konser lainnya, ketika Metallica pura-pura undur diri, para 'penonton tambahan' itu berlomba-lomba bergegas keluar stadion. Ketika tiba-tiba terdengar intro lagu One, mereka sontak balik badan dan langsung bergegas masuk kembali ke dalam...

Pulangnya, total war zone. Asap di mana-mana. Polisi sibuk menyabet penonton dengan rotan. Bau bensin di mana-mana, sirene di mana-mana. Palang Merah Indonesia sibuk merawat korban-korban rusuh di luar sana. Nggak ada kendaraan yang berani lewat sana. Yang parkir di sana?! Erg, nggak berani jamin mobilnya masih mulus. Kita terpaksa jalan kaki ke Bona Indah untuk mengambil mobil teman saya, yang bertemu di dalam arena. Ternyata besok paginya saya baru tahu kalau konser ini brutal sekali. Sampai-sampai showroom mobil Suzuki di Pondok Indah ludes dibakar massa. Pantesan orang tua panik mencari saya esok harinya...

Vivid95 ; Sabtu Nonton Kerusuhan, Minggu Nonton Konser.

Gue salah satu saksi hidup saat mereka ke sini, April 1993. Saat itu gue masih SMA kelas satu. Konser dibuat dua hari, yakni Sabtu dan Minggu. Konser di Jakarta adalah rangkaian tour mereka yang fenomenal Nowhere Else to Roam yang digelar selama tiga tahun [1991-1993]. Tiket yang gue punya yaitu tiket hari Minggu-nya, tapi tetep nekat dateng pas Sabtu. Pengalaman nonton konser Sepultura tahun 1991, pengawasan di pintu masuk gak terlalu ketat asal nyogok penjaga dengan uang 10.000 - 20.000 dijamin bisa masuk [payah bgt ya?!]. Ini yang jadi salah satu pemicu kericuhan di luar stadion saat itu. Hal lain adalah arogansi-nya Satpol PP [Pemuda Pancasila] yang di jaman Orba terkenal 'preman'-nya. Mentang-mentang sama ABRI jaga konser, mereka seenaknya aja mukul-mukulin orang.

Kronologisnya, bis yang ditumpangin sama anggota Metallica nyasar masuk pintu utama, di mana di situ sudah kumpul ratusan bahkan ribuan fans. Alhasil digedor-gedorlah bis itu, bahkan sampai ada yang naik ke atasnya. Untuk menjaga ketertiban, ABRI maupun satpol PP bertindak over-reacting. Alhasil fans asli maupun gadungan kocar-kacir. Setelah itu gue merasa bakal ada yang gak beres, so mending balik. The rest of story ; kerusuhan...

Esoknya hari Minggu, gue datang sendirian. Di sekitar stadion Lebak Bulus sudah banyak tentara. Akibat kerusuhan kemarin, satu kilometer dari stadion di-sweeping. Hanya penonton yang punya tiket aja yang boleh masuk, termasuk gue.

Penontonnya gak terlalu banyak kalau dibanding sama Sepultura. Dari enam bulan sebelumnya udah ngarep-ngarep Metallica, akhirnya kesampaian juga nonton live-nya. Konser dibuka sama grup Rotor. Gak terlalu heboh sih, soalnya emang gak terlalu enak lagu-lagunya. Aliran musiknya lebih keras dari Metallica. Komposisi lagu yang mereka bawain gak terlalu bisa dinikmatin, penonton pun cuma bengong-bengong saja.

Rada lama nunggu, trus ada MC Mi'ing Bagito bikin penonton pada ketawa. Setelah itu diperdengarkan salah satu lagu dari albumnya Setiawan Djody. Hanya jeda beberapa menit, ini yang ditunggu-tunggu. Ecstasy of Gold, intro wajib di setiap konser Metallica sejak 1986 mulai terdengar. Bisa ditebak penonton langsung histeris. Konser dibuka dengan Creeping Death, disusul Harvester of Sorrow dan [Welcome Home] Sanitarium. Wah, gue lupa setlist-nya. Keasyikan headbang dan moshing. Yang jelas, konser ditutup sama lagu One dan Enter Sandman. Oya, Jason Newsted berkepala plontos saat itu. Sedangkan James Hetfield tetep dengan kumis sangarnya.

Wah kalo inget pas pertama kali nonton Metallica sih, campur aduk deh perasaan, mostly happy berat. Gak dinyana, setelah sepuluh tahun, gue nonton Metallica lagi di Cologne [2003] dan Gelsenkirchen Germany [2004]...

Jati ; Masih Sangat Kecil Untuk Menonton Konser Metal

Empat belas tahun yang lalu, Metallica mengguncang Jakarta. Kuartet speed metal dari USA ini menggelar konser dua malam berturut-turut. Pentas tersebut adalah bagian dari rangkaian World Tour bertitel Nowhere Else To Roam. Kesuksesan mendatangkan para Phantom Lord ini tak lepas dari upaya promotor Setiawan Djody.

Bertindak sebagai band pembuka adalah dedengkot gerakan metal bawahtanah lokal, Rotor. Ada dua versi mengenai penampilan mereka dua malam itu. Versi pertama, tidak seperti Edane yang sukses mengiringi aksi Igor Cavalera cs., Rotor gagal mengesankan penonton. Belum lama beraksi mereka sudah disuruh turun oleh massa. Padahal jatah mereka cuma lima lagu doang. Crowd memang sudah tidak sabar lagi untuk ber-headbanging dengan Jason Newsted dkk. Versi kedua memberi penilaian 'not bad'. Terbukti berbekal curriculum vitae sebagai pembuka konser Metallica, Irvan Sembiring dkk lalu bisa mendapat kontrak major label pertamanya. Ah sudahlah.

Penampil utama malam itu, menurut kesaksian para 'veteran', bermain dengan intensitas energi yang maksimal. Since susah banget nyari arsip dokumentasi event akbar ini, tidak bisa dijelaskan detail peristiwa sebenarnya. Satu yang pasti, Jason bikin pangling dengan rambut cepaknya. Ia personel pertama dari supergrup 'metal & vodka' ini yang mencukur pendek long hair-nya, beberapa tahun sebelum tiga anggota lainnya melakukan hal yang sama. Menurut majalah HAI - waktu itu this magz really rocks, nggak kayak sekarang, cemen - konser tersebut nggak ada matinya. Kalau reportase itu yang jadi pegangan, bisa direka-reka sendirilah situasinya. Perpaduan live on stage empat 'pengendara petir' ini jelas dahsyat ; penabuh drum hiperaktif Lars, James yang kharismatik, si lincah nan garang tapi melodius Kirk, plus our friend of misery Mr. Newsted. Singkat kata, atmosfer Lebak Bulus dua malam itu benar-benar cadas. Pol-polan.

Sihir The Four Horsemen di atas panggung ternyata juga sampai membius mereka yang berada di luar arena. Tapi sayangnya dalam konteks negatif. Heboh dan tertib di dalam tapi rusuh di luar. Di area sekitar stadion Lebak Bulus, sejumlah mobil dibakar dan beberapa fasilitas umum dirusak para metal militia yang kecewa berat karena kehabisan tiket dan tidak bisa masuk. Akibat riot act itu keluar keputusan fatal ; pemerintah melarang setiap konser dari grup rock mancanegara untuk waktu yang tidak ditentukan. Solusi yang tidak menyelesaikan masalah dan cenderung represif. Ibarat membalas lemparan telur busuk dengan tomat yang busuk pula. Kerusuhan itu terjadi tentu bukan karena musisinya, tapi jelas lebih karena anarkisme massa yang belum dewasa. Tapi apa sih yang tidak dilarang di jaman orde baru?!

Teringat cerita seorang kawan yang kakaknya menjadi saksi hidup pentas si raja metal ini. Penonton yang berjumlah total 44 ribu orang, hampir sepanjang konser berayun kepala serta koor bareng tanpa harus dikomando sebelumnya. Sampai merinding membayangkannya...

Now I lay me down to sleep
pray the lord my soul to keep
if I die before I wake
pray the lord my soul to take

Hush little baby don't say a word
and never mind that noise you heard
It's just the beasts under your bed
in your closet, in your head

Exit... liight
enteer... niiight...

Sampai sekarang saya masih menyesali kenapa saya masih sangat kecil untuk menonton sebuah konser metal - dan venue-nya jauh dari rumah pula - ketika itu.

Sebenarnya beberapa tahun lalu Metallica sempat menjadwalkan konser di tanah air. Tapi batal gara-gara pemerintah AS memberlakukan travel warning buat warganya yang ingin ke Indonesia. Lagi-lagi saya hanya bisa mengutuk sang biang kerok, para pelaku pengeboman di Bali dan Kuningan itu.

Pengen banget mendengar langsung sapaan khas sang frontman, "Are you still alive?"
Hell yeah, sure! How 'bout yourself, dare to blow my country again?!?!...

[various-metalikatz]
Foto dok Yuda96, Farry, Jati & Netz.

Sebenarnya agak susah mencari arsip dan dokumentasi tentang konser ini. Beruntung kami dibantu oleh mister Gugel akhirnya bisa menemukan beberapa tulisan dan foto yang tercecer di sejumlah blog pribadi. Thanks & long live the bloggers!...

Kerusuhan konser Metallica bisa disimak pada trailer film dokumenter 'Global Metal' karya Sam Dunn - lengkap dengan kobaran api yang menyala hebat dari mobil-mobil dan bangunan yang berada di luar stadion Lebak Bulus Jakarta!..

di mutasi dari internet