Jumat, 21 Mei 2010 | 01:22 WIB
KOMPAS.com — Bicara  soal kehidupan pedesaan di Banten pada abad ke-19 tak akan jauh dari  perbanditan. Layaknya Robin Hood, bandit pada masa itu didukung dan  dibantu oleh berbagai lapisan masyarakat yang mendukungnya. Pasalnya,  bandit pada kala itu biasanya adalah sebutan orang yang merampok  orang-orang kaya untuk kemudian dibagikan kepada rakyat jelata.
Di  antara bandit yang terkenal adalah Mas Jakaria yang karier hidupnya  dalam perbanditan berlangsung pada 1811-1827. Jakaria mengaku sebagai  orang suci. Sebagai bandit, itu adalah turunan dari bapaknya yang juga  seorang bandit yang oleh pemerintah kolonial dijuluki pemberontak. 
Di  sini terlihat bagaimana budaya mistik, berupa kekebalan, kekuatan  supranatural yang melekat pada bandit, masih begitu dibanggakan. Dan,  kekuatan itu tak lain demi membela rakyat. Demikian ditulis Suhartono W  Pranoto dalam Bandit-bandit Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942.
Pranoto  menjelaskan, bagaimana pemerintah kolonial menjuluki Jakaria sebagai  pemberontak yang rohnya pun dapat membantu perlawanan Jakaria sebagai  bandit sosial, yaitu dalam Peristiwa Cikandi pada 1845. 
Pertengahan  abad ke-19, suasana pedesaan Banten sangat tidak aman. Pegawai  setingkat wedana kesulitan memberantas perbanditan. Masyarakat lokal tak  ada yang mau buka mulut melaporkan perampokan yang terjadi meski  perampokan merajalela. Para pemimpin pemerintahan tentu saja meminta  anak buahnya untuk memberantas, tetapi para pamong praja atau wedana  kesulitan mendapat informasi. Dari sinilah muncul upaya sogok menyogok  alias jilat menjilat dari para pamong praja terhadap atasan agar  posisinya aman.   
Mereka  sibuk mencari alibi, mengumumkan pemberian hadiah bagi siapa saja yang  berhasil menyerahkan bandit, sebuah upaya melepas tanggung jawab.
Bandit lain adalah Sahab, Conat, Ija, Sakam, dan Kamudin meski mereka tak semuanya bandit sosial. Sahab  beroperasi di Banten selatan dan berpengalaman masuk keluar penjara.  Bahkan kemudian ia diangkat menjadi Patih Lebak supaya bisa melindungi  sekaligus menjadi bayangan dari pemerintah yang sedang berkuasa. Dan  dari semua itu yang berbicara paling kuat adalah uang.
Bandit lain, Ija dan Sakam, merajalela  tanpa ada yang mampu menghentikan. Bahkan sampai jatuh korban dari  pihak Belanda. Alhasil, setelah semua putus asa, dicarilah "pengganti"  Sakam bernama Suhari untuk menggantikan Sakam. Pada 1886, Suhari  dipenjara menggantikan Sakam. Dikatakan bahwa Sakam-lah yang sudah  tertangkap. Padahal, Sakam masih bebas berkeliaran.
Sekadar informasi, Multatuli dalam buku Max Havelaar,  sejak awal abad ke-19 di Banten yang namanya bandit sudah  terorganisasi. Mereka beroperasi di Banten, Tangerang, Jatinegara,  Karawang, dan Bogor. 
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
                     
0 komentar:
Posting Komentar